Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi yang terjadi pada 5 Februari 1933 merupakan pemberontakan pertama pelaut Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Pemberontakan ini dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang memangkas gaji para pelaut Indonesia hingga 17 persen, sementara pelaut Belanda hanya mengalami pemotongan sebesar 14 persen. Ketidakadilan ekonomi ini memicu protes keras dari awak kapal Indonesia yang merasa diperlakukan tidak adil. Sebelumnya, pada 1932, gaji pelaut Indonesia sudah dipotong dua kali, yang semakin memperburuk kondisi mereka.
Reaksi pertama muncul pada 27 Januari 1933, ketika para pelaut di Surabaya melakukan mogok kerja sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut. Berita mogok ini menyebar cepat dan sampai ke telinga pelaut yang berada di Kapal Tujuh Provinsi yang berlabuh di Sabang, Aceh. Pada 30 Januari, para pemimpin pemberontakan di kapal tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk menentang kebijakan kolonial. Pada 5 Februari, pemberontakan dimulai, dengan kapal yang dikuasai para pelaut bergerak menuju Surabaya.
Peristiwa ini tidak hanya mengguncang Indonesia, tetapi juga menarik perhatian dunia internasional. Pers asing memberitakan kejadian ini, dan Perhimpunan Indonesia di Belanda memberikan dukungan terhadap perjuangan para pelaut. Namun, perlawanan tersebut dibalas dengan serangan udara oleh Belanda, yang menjatuhkan bom di atas kapal. Serangan ini mengakibatkan banyak korban jiwa di pihak pelaut Indonesia, namun peristiwa ini tetap dikenang sebagai simbol semangat perlawanan terhadap kolonialisme.