Karangasem merupakan salah satu kabupaten di Bali yang melestarikan tradisi magibung atau bisa diartikan makan bersama. Dalam magibung ini ada aturan yang mesti diperhatikan. Bukan sekadar makan bersama.
Masyarakat Karangasem tidak asing dengan istilah magibung. Mengingat tradisi ini masih terjaga di daerah paling ujung timur Pulau Bali itu, dalam berbagai kegiatan, ada magibungnya. Baik kegiatan upacara panca yadnya, maupun kegiatan lainnya. Seiring berkembangnya zaman, tak sedikit warga Karangasem syukurannya juga dirayakan dengan magibung.
Tak heran, jika usaha gibungan juga bermunculan di kabupaten yang dikenal dengan Bumi Lahar itu. Mau magibung tinggal pesan saja. Secara umum, lauk pauknya daging babi. Namun biasa juga daging lainnya.
Dalam tradisi magibung, nasi ditaruh di atas nampan atau wadah lain dengan alas daun atau sekarang bisa pakai kertas pembungkus nasi. Gundukan nasi ditaruh di atas nampan dengan lauk pauk ditempatkan khusus, terpisah dengan nasi. Satu porsi gibungan lengkap dengan lauk pauknya disebut sela. Satu sela ini, biasanya disantap bersama 5-8 orang. Posisi duduk dibentuk melingkar dengan gibungan berada di tengah-tengah.
Selain menunjukkan kebersamaan, ada tata cara yang mesti diperhatikan saat magibung. Secara umum tata cara ini lebih pada mengajarkan etika, estetika, dan logika. Misalnya, posisi duduk harus bersila, lesehan dengan posisi miring. Biasanya miring ke kanan. Logikanya, akan sangat kesulitan makan, apabila semua duduknya berhadap-hadapan. Mengingat, zaman dulu dalam satu sela bisa sampai 8 orang. Sekarang sudah mengalami perubahan menjadi 5-8 orang. Dengan posisi miring itu, sikap tangan bisa bagus, duduk pun lebih nyaman. Tidak ngangkang.
Begitu juga posisi tempat duduk juga diatur. Misalnya, mereka yang usianya paling tua, dituakan atau tokoh, duduknya di sebelah utara atau paling timur.